KATA
PENGANTAR
Puji syukur kehadiran Allah Swt yang
Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, yang mana Beliau telah melimpahkan rahmat,
hidayah, dan inayah-Nya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan tugas
makalah mata kuliah Ekonomi Mikro Islam.
Adapun makalah ini telah kami usahakan
semaksimal mungkin dan tentunya dengan bantuan berbagai pihak, sehingga
memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami tidak lupa menyampaikan
banyak terima kasih kepada pihak yang telah membantu kami dalam menyusun
makalah ini. Namun, tidak lepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa
makalah kami masih banyak kekurangan baik dari segi bahasanya maupun segi yang
lainya
Oleh karena itu dengan lapang dada dan
tangan terbuka kami membuka selebar-lebarnya bagi pembaca yang ingin memberi
saran dan kritik sehingga kami dapat memperbaiki makalah Ekonomi Mikro Islam
ini.
Surabaya,
2 Maret 2017
Penulis
DAFTAR ISI
COVER
KATA PENGANTAR.......................................................................................... i
DAFTAR ISI.......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang............................................................................................... 1
B.
Rumusan Masalah.......................................................................................... 1
C.
Tujuan............................................................................................................. 1
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Utilitas Ekonomi dalam Ekonomi Konvensional......................................... 2
B.
Konsep Islam Tentang Kebutuhan............................................................... 3
C.
Perbedaan Maslahah dan Utilitas................................................................. 7
BAB III PENUTUP
A.
KESIMPULAN.............................................................................................. 10
DAFTAR PUSTAKA
LEMBAR KERJA
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Makhluk hidup di dunia ini mempunyai kebutuhan sendiri-sendiri, baik itu
hewan, tumbuhan, dan manusia pasti mempunyai kebutuhan untuk mempertahankan
hidupnya. Dan dalam makalah ini yang menjadi objek pembahasannya adalah
kebutuhan dari seorang manusia.
Pembahasan konsep kebutuhan dalam
Islam tidak dapat dipisahkan dari kajian
perilaku konsumen dari kerangka Maqasid Syariah. Tujuan
Syariah harus dapat menentukan tujuan perilaku konsumen dalam Islam.
Tujuan syariah Islam adalah tercapainya kesejahteraan umat manusia.
Oleh karena itu semua barang dan jasa yang memiliki
maslahah akan dikatan kebutuhan manusia.
Dan pembahasan berikut ini akan menguraikan kebutuhan secara lebih
mendalam, mulai dari pengertian baik secara umum dan menurut Islam, jenis-jenis
baik secara garis besar dan menurut Islam, faktor-faktor yang mempengaruhi
kebutuhan itu sendiri, dan perbedaan maslahah dengan utilitas.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan utilitas
kebutuhan dalam ekonomi konvensional?
2.
Bagaimana konsep Islam tentang
kebutuhan?
3.
Bagaimana perbedaan maslahah dan
utilitas?
C.
Tujuan
1.
Agar mengetahui maksud dari
utilitas kebutuhan dalam ekonomi konvensional
2.
Agar mengetahui konsep Islam
tentang kebutuhan
3.
Agar mengetahui perbedaan maslahah
dan utilitas
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A.
Utilitas
kebutuhan dalam Ekonomi Konvensional
Secara konvensional kebutuhan atau
keinginan merupakan segala sesuatu yang diperlukan manusia untuk
menyejahterakan hidupnya. Kebutuhan mencerminkan adanya perasaan ketidakpuasan
atau kekurangan dalam diri manusia yang ingin dipuaskan. Orang membutuhkan sesuatu
karena tanpa sesuatu itu ia merasa ada yang kurang dalam dirinya. Kebutuhan
sendiri timbul karena adanya kelangkaan akan barang dan jasa.[1]
Dalam ekonomi, utilitas adalah jumlah dari kesenangan atau
kepuasan relatif (gratifikasi) yang dicapai. Dengan jumlah ini, seseorang bisa
menentukan meningkat atau menurunnya utilitas, dan kemudian menjelaskan
kebiasaan ekonomis dalam koridor dari usaha untuk meningkatkan kepuasan
seseorang. Unit teoritikal untuk penjumlahan utilitas adalah util.
Doktrin dari utilitarianisme melihat maksimalisasi dari utilitas
sebagai kriteria moral untuk organisasi dalam masyarakat. Menurut para
utilitarian, seperti Jeremy Bentham (1748-1832)
dan John Stuart Mill (1806-1876), masyarakat harus bertujuan untuk
memaksimalisasikan jumlah utilitas dari individual, bertujuan untuk
"kebahagiaan terbesar untuk jumlah terbesar".
Dalam ekonomi neoklasik,
rasionalitas didefinisikan secara tepat dalam istilah dari kebiasaan
maksimalisasi utilitas dibawah keadaan ekonomi tertentu. Sebagai kebiasaan
usaha hipotetikal, utilitas tidak membutuhkan adanya keadaan mental seperti
"kebahagiaan", "kepuasan", dll.
Utilitas digunakan oleh ekonom dalam konstruksi sebagai kurva indiferen, yang berperan sebagai
kombinasi dari komoditas yang
dibutuhkan oleh individu atau masyarakat untuk
mempertahankan tingkat kepuasan. Utilitas individu dan utilitas masyarakat bisa
dibuat sebagai variabel tetap dari fungsi utilitas (contohnya seperti peta
kurva indiferen) dan fungsi kesejahteraan sosial. Ketika dipasangkan dengan
komoditas atau produksi, fungsi ini bisa mewakilkan efisiensi Pareto, yang digambarkan
oleh kotak Edgeworth dan
kurva kontrak. Efisiensi ini merupakan konsep utama ekonomi kesejahteraan.
B.
Konsep Islam
Tentang Kebutuhan
Kebutuhan adalah senilai dengan keinginan. Di mana keinginan ditentukan
oleh konsep kepuasan. Dalam perspektif Islam kebutuhan ditentukan oleh konsep
kepuasan. Dalam perspektif Islam kebutuhan di tentukan oleh konsep maslahah.
Pembahasan konsep kebutuhan dalam Islam tidak dapat dipisahkan dari kajian
perilaku konsumen dari kerangka maqasid syari’ah (tujuan syari’ah).[2]
Tujuan syari’ah harus dapat menentukan tujuan perilaku konsumen dalan Islam.
Tujuan syari’ah Islam adalah tercapainya lesejahteraan umat manusia (maslahat-al-‘ibad).[3]
Oleh karena itu, semua barang dan jasa yang dimiliki maslahah akkan dikatakan
menjadi kebutuhan manusia.
Teori ekonomi konvensional menjabarkan kepuasan (utility) seperti memiliki
barang/jasa untuk memuaskan keinginan manusia. Kepuasan (satisfaction)
ditentukan secara subyektif. Tiap-tiap orang memiliki atau mencapai kepuasannya menurut ukuran atau kriterianya
sendiri. Suatu aktivitas ekonomi untuk
menghasilkan sesuatu adalah didorong karena adanya kegunaan dalam sesuatu itu.
Jika sesuatu itu dapat memenuhi kebutuhan, maka manusia akan melakukan usaha
untuk mengkonsumsi sesuatu itu.
Dalam
konteks ini, konsep maslahah sangat tepat untuk diterapkan. Menurut
Syatibi,[4]
maslahah adalah pemilikan atau kekuatan barang/jasa yang mengandung
elemen-elemen dasar dan tujuan kehidupan umat manusia di dunia ini (dan
perolehan pahala untuk kehidupan akhirat = pen). Syatibi membedakan maslahah
menjadi tiga, yaitu: kebutuhan (daruriyah), pelengkap (hajiyah),
dan perbaikan (tahsiniyah).
Dalam ekonomi Islam
kebutuhan manusia (Maqshid) terdiri dari tiga jenjang:
1. Dharuriyat (Primer)
Merupakan kemestian
dan landasan dalam menegakkan kesejahteraan manusia di dunia dan akhirat yang
mencakup pemeliharaan lima unsur pokok, yakni : agama, jiwa, akal, keturunan
dan harga.
Pengabaian terhadap
kelima unsur tersebut akan menimbulkan kerusakan di dunia dan akhirat.
Pemeliharaan terhadap agama, jiwa, akal, keturunan dan harta dapat dilakukan
dengan cara memelihara eksistensi kelima unsur pokok tersebut dalam kehidupan
manusia dan melindunginya dari berbagai hal yang dapat merusak.[5]
Tujuan yang bersifat dharuri merupakan tujuan utama dalam pembinaan hukum yang mutlak
harus dicapai. Oleh karena itu suruhan-suruhan syara’ dalam hal ini bersifat
mutlak dan pasti, serta hukum syara’ yang berlatar belakang pemenuhan kebutuhan
dharuri adalah “wajib” (menurut jumhur ulama) atau “fhardu” (menurut ulama
Hanafiah). Sebaliknya, larangan Allah berkaitan dengan dharuri ini bersifat
tegas dan mutlak. Hukum yang ditimbulkannya termasuk haram dzati. Untuk
mendukung pencapaian dari tujuan dharuri ini, syara’ menetapkan hukum-hukum
pelengkap yang terurai dalam kitab-kitab fiqh.[6]
2. Hajiyyat (Sekunder)
Maksudnya untuk memudahkan kehidupan,
menghilangkan kesulitan atau menjadikan pemeliharaan yang lebih baik terhadap
lima unsur pokok kehidupan manusia. Apabila kebutuhan tersebut tidak
terwujudkan hal tersebut tidak akan mengancam keselamatannya, namun akan
mengalami kesulitan. Pada dasarnya jenjang hajiyat ini merupakan
pelengkap yang mengokohkan, menguatkan, dan melindungi jenjang dharuriyat. Atau
lebih spesifiknya lagi bertujuan untuk memudahkan atau menghilangkan kesulitan
manusia di dunia.[7]
3. Tahsiniyyat (Tersier)
Maksudnya adalah agar manusia dapat
melakukan yang terbaik untuk menyempurnakan pemeliharaan lima unsur pokok
kehidupan manusia. Ia tidak dimaksudkan untuk menghilangkan atau mengurangi
berbagai kesulitan, tetapi hanya bertindak sebagai pelengkap, penerang dan
penghias kehidupan manusia.[8]
Dalam Islam, ada kebijakan yang dinamakan
politik ekonomi Islam. Politik ekonomi Islam adalah jaminan tercapainya
pemenuhan semua kebutuhan primer (basic needs) tiap orang secara menyeluruh, berikut kemungkinan
tiap orang untuk memenuhi kebutuh-kebutushan sekunder dan tersiernya sesuai
dengan kadar kesanggupannya, sebagai individu yang hidup dalam sebuah
masyarakat yang memiliki gaya hidup (life style) tertentu. Islam
memandang tiap orang secara pribadi, bukan secara kolektif sebagai komunitas
yang hidup dalam sebuah negara. Pertama kali, Islam memandang tiap orang
sebagai manusia yang harus dipenuhi semua kebutuhan primernya secara menyeluruh.
Baru, berikutnya, Islam memandangnya dengan kapasitas pribadinya untuk memenuhi
kebutuhan-kebuthan sekunder dan tersiernya sesuai dengan kadar kemampuannya.
Islam telah menjamin terpenuhinya hak
hidup secara pribadi serta memberikan kesempatan kepada tiap orang tersebut untuk
memperoleh kemakmuran hidupnya. Sementara pada saat yang sama, Islam telah
membatasi perolehan harta orang tersebut, yang dipergunakan untuk memenuhi
kebutuhan primer serta kebutuhan sekunder dan tersiernya dengan ketentuan yang
khas, termasuk yang menjadikan interaksi orang tersebut sebagai interaksi yang
mengikuti gaya hidup yang khas pula. Karenanya, Islam mengharamkan tiap Muslim
untuk memproduksi dan mengkonsumsi minuman keras.[9]
Khallaf memberikan penjelasan mengenai maslahah sebagai berikut,
bahwa tujuan umum syar’i dalam mensyari’atkan hukum ialah terwujudnya kemaslahatan
umum dalam kehidupan, mendapatkan keuntungan dan menghindari bahaya. Karena kemaslahatan
manusia dalam kehidupan ini terdiri dari beberapa hal yang bersifat daruriyah,
hajiyah, dan tahsiniyah telah terpenuhi,[10]
berarti telah nyata kemaslahatan mereka. Seorang ahli hokum yang muslim,
tentunya mensyari’atkan hokum dalam berbagai sektor kegiatan manusia untuk
merealisasikan pokok-pokok daruriyah, hajiyah, dan tahsiniyah
bagi perorangan dan masyarakat.
Lebih jauh khallaf mengatakan, “yang terpenting dari tiga tujuan pokok itu
adalah darury dan wajib dipelihara. Hajiyi boleh ditinggalkan
apabila memeliharanya merusak hukum darury, dan tahsiny boleh
ditinggalkan apabila dalam menjaganya merusak hukum darury dan tahsiny.[11]
Jadi semua barang dan jasa yang memiliki kekuatan untuk memenuhi elemen
pokok (darury) telah dapat dikatakan memiliki maslahah bagi umat
manusia. Semua kebutuhan adalah tidak sama penting. Kebutuhan ini meliputi tiga
tingkatan, yaitu:[12]
·
Tingkat di
mana lima elemen pokok di atas dilindungi secara baik.
·
Tingkat di
mana perlindungan lima elemen pokok di atas dilengkapi untuk memperkuat
perlindungannya.
·
Tingkat di
mana lima elemen pokok di atas secara sederhana di peroleh secara lebih baik.
Semua barang dan jasa yang memiliki
kekuatan, atau kualitas untuk melindungi, menjaga dan memperbaiki, atau salah
satu daripadanya terhadap lima elemen pokok, maka barang dan jasa tersebut
memiliki maslahah. Seorang muslim secara agamis didorong untuk mencari
dan memproduksi barang dan jasa yang memiliki maslahah, tergantung pada
tingkat di mana barang/jasa mampu mengenai elemen pokok tersebut. Barang/jasa
yang melindungi elemen ini akan lebih maslahah jika diikuti oleh
barang/jasa untuk melindungi/menjaga barang/jasa itu dari kemungkinan
memperbaiki elemen pokok tersebut.
C.
Perbedaan
Maslahah dan Utilitas
1.
Maslahah
Perilaku konsumen dalam islam menekankan
pada konsep dasar bahwa manusia cenderung untuk memilih barang dan jasa yang
memberikan maslahah maksimum. Hal ini sesuai dengan rasionalitas dalam ekonomi
islam bahwa setiap pelaku ekonomi ingin meningkatkan maslahah yang diperolehnya
dalam konsumsi.
Dalam Al-Qur’an kata maslahah
banyak disebut dengan istilah manfa’at atau manafi’ yang berarti kebaikan yang
terkait dengan material, fisik, dan psikologis. Sehingga maslahah mengandung
pengertian kemanfaatan duniawi dan akhirat.
Konsep maslahah ini diderivasikan
dari konsep maqashid syari’ah yang berujung pada masalih al-‘ibad
(kemaslahatan hamba/manusia).[13]
Menurut Imam Shatibi istilah maslahah
maknanya lebih luas dari sekedar utility atau kepuasan dalam terminologi
ekonomi konvensional. Maslahah merupakan tujuan hukum syara’ yang paling
utama.
a) Maslahah adalah sifat atau kemampuan barang dan jasa yang
mendukung elemen-elemen dan tujuan dasar dari kehidupan manusia dimuka bumi ini
(Khan dan Ghifari, 1992). Ada lima elemen dasar menurut beliau, yakni:
Agama, kehidupan atau jiwa (al-nafs), properti atau harta benda (al-mal),
keyakinan (al-din), intelektual (al-aql), dan keluarga atau
keturunan (al-nasl). Dengan kata lain, maslahah meliputi
integrasi manfaat fisik dan unsur-unsur keberkahan.
b) Mencukupi kebutuhan
dan bukan memenuhi kepuasan/keinginan adalah tujuan dari aktivitas ekonomi
Islam, dan usaha pencapaian tujuan itu adalah salah satu kewajiban dalam
beragama.
2.
Utilitas
Secara bahasa, utility berarti
berguna (usefulness), membantu (helpness), atau menguntungkan (advantage).
Dalam konteks ekonomi, utilitas diartikan sebagai kegunaan barang yang
dirasakan oleh seorang konsumen dalam mengkonsumsi suatu barang. Kegunaan ini
bisa dirasakan sebagai rasa “tertolong” dari kesulitan karena mengkonsumsi
suatu barang. Karena rasa inilah utilitas sering diartikan juga sebagai
kepuasan yang dirasakan oleh seorang konsumen. Dengan demikian, kepuasan dan
utilitas dianggap sama, meskipun sebenarnya kepuasan adalah akibat yang
ditimbulkan oleh utilitas.[14]
3.
Perbedaan
Maslahah dan Utiliti
a. Konsep maslahah dikoneksikan dengan
kebutuhan (need), sedangkan kepuasan (utility) dikoneksikan
dengan keinginan (want).
b. Utility atau kepuasan bersifat individualis, maslahah
tidak hanya bisa dirasakan oleh individu tetapi bisa dirasakan pula oleh orang
lain atau sekelompoki masyarakat.
c. Maslahah relatif lebih obyektif karena didasarkan pada
pertimbangan yang obyektif (kriteria tentang halal atau baik) sehingga suatu
benda ekonomi dapat diputuskan apakah memiliki maslahah atau tidak. Sementara utilitas mendasarkan pada
kriteria yang lebih subyektif, karenanya dapat berbeda antara individu satu
dengan lainnya.
d. Maslahah individu relatif konsisten dengan
maslahah sosial. Sebaliknya, utilitas individu sering berseberangan dengan
utilitas sosial.
e. Jika maslahah dijadikan tujuan dari
seluruh pelaku ekonomi (konsumen, produsen, dan distributor), maka semua
aktivitas ekonomi masyarakat baik konsumsi, produksi, dan distribusi akan
mencapai tujuan yang sama, yaitu kesejahteraan. Hal ini berbeda dengan utility
dalam ekonomi konvensional, konsumen mengukurnya dari kepuasan yang diperoleh
konsumen dan keuntungan yang maksimal bagi produsen dan distributor, sehingga
berbeda tujuan yang akan dicapainya.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Menurut Imam
al-Ghazali kebutuhan adalah keinginan manusia untuk mendapatkan sesuatu yang
diperlukan dalam rangka mempertahankan kelangsungan hidupnya dan menjalankan
fungsinya yaitu menjalankan
tugasnya sebagai hamba Allah dengan beribadah secara maksimal.
Dalam ekonomi Islam
kebutuhan manusia (Maqshid) terdiri dari tiga jenjang:
1.
Dharuriyat (Primer)
2.
Hajiyyat (Sekunder)
3.
Tahsiniyyat (Tersier)
Konsep maslahah sangat tepat untuk
diterapkan. Menurut Syatibi, maslahah adalah pemilikan atau kekuatan
barang/jasa yang mengandung elemen-elemen dasar dan tujuan kehidupan umat
manusia di dunia ini (dan perolehan pahala untuk kehidupan akhirat = pen).
Syatibi membedakan maslahah menjadi tiga, yaitu: kebutuhan (daruriyah),
pelengkap (hajiyah), dan perbaikan (tahsiniyah).
Secara garis besar, kebutuhan manusia dapat
kita bagi menjadi empat kelompok, yaitu kebutuhan menurut tingkat intensitas,
sifat, subjek, dan waktu kebutuhan
Ada beberapa hal yang menyebabkan kebutuhan
itu berbeda. Di antaranya adalah peradaban, lingkungan, adat istiadat, dan
agama.
Maslahah relatif lebih obyektif karena didasarkan pada
pertimbangan yang obyektif (kriteria tentang halal atau baik) sehingga suatu
benda ekonomi dapat diputuskan apakah memiliki maslahah atau tidak. Sementara utilitas mendasarkan pada
kriteria yang lebih subyektif, karenanya dapat berbeda antara individu satu
dengan lainnya.
Maslahah individu
relatif konsisten dengan maslahah sosial. Sebaliknya, utilitas individu sering
berseberangan dengan utilitas sosial.
DAFTAR PUSTAKA
Nurcahyaningtyas.
Ekonomi Untuk Kelas X SMA. Jakarta: Pusat Perbukuan, Departemen
Pendidikan Nasional. 2009.
Karim,
Adiwarman A. . Sejarah Pemikiran Ekonomi edisi kedua. Jakarta: Grafindo
Persada, 2004.
Syarifuddin, Amir. Ushul
Fiqh II. Jakarta: Kencana Prenada Group, 2008.
Winky, Imeh Tinky. Makalah Kebutuhan vs Keinginan. 4 Juli 2013, http://imehtinky.blogspot.co.id/2013/07/makalah-kebutuhan-vs-keinginan.html
Chapra, M. Umer. Masa Depan Ilmu Ekonomi: Perspektif Islam, (terjemahan: Ikhwan Abidin). Jakarta: Gema Insani
Press, 2002.
M. Fahim Khan, “Theory of Consumer Behaviour in an Islamic
Perspective”, dalam Sayyid Tahir et.al.Reading in Macroeconomics An Islamic
Perspective, Malaysia: Lamongan, 1992.
Rahmawaty,
Anita. Ekonomi Mikro Islam. Kudus: Nora Media Enterprise, 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar