BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Pada dasarnya
dalam dunia bisnis, upaya untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya
merupakan perilaku yang wajar, akan tetapi langkah-langkah yang diambil untuk
mencapai tujuan tersebut harus tetap dalam koridor yang diperbolehkan oleh
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kondisi ini tentunya tidak hanya
membatasi perilaku sektor swasta saja akan juga berlaku untuk negara dalam hal
negara bertindak sebagai pelaku usaha seperti dalam kasus BUMN. Meskipun demikian
tentunya ada sektor-sektor tertentu yang oleh undang-undang memang diberikan
monopoli kepada negara karena menyangkut hajat hidup orang banyak.
Secara teoritis
hukum persaingan usaha akan menguntungkan konsumen di satu pihak dan
mengembangkan iklim usaha yang lebih baik bagi pelaku usaha di pihak lainnya.
Dalam perspektif konsumen dengan adanya larangan monopoli maka konsumen
memperoleh dua keuntungan yaitu pertama kemudahan untuk memilih alternatif
barang atau jasa yang ditawarkan dan kedua adalah harga barang atau jasa akan
cenderung lebih murah dengan kompetisi diantara pelaku usaha.
Dalam era
globalisasi dan transparansi seperti sekarang ini tentunya monopoli yang
dipegang oleh negara harus kembali dikaji, jangan sampai dengan alasan untuk
kepentingan umum suatu sektor dimonopoli oleh negara akan tetapi hasilnya
justru hanya menguntungkan orang-orang tertentu atau kelompok tertentu saja.
Adanya undang-undang persaingan usaha ini pada dasarnya merupakan salah satu
syarat bagi suatu negara yang akan memberlakukan ekonomi pasar. Oleh karenanya
ekonomi pasar tanpa adanya aturan main yang jelas akan menimbulkan
kesewenang-wenangan, dimana pelaku usaha besar akan mematikan pelaku usaha
kecil yang merupakan saingannya. Pasar persaingan sempurna, merupakan struktur
pasar yang paling ideal dalam suatu negara yang menganut sistem mekanisme
pasar. Dalam pasar persaingan sempurna, produsen memiliki kemampuan yang sama
antara satu dengan yang lainnya, sehingga agar dia dapat tetap bertahan atau
lebih unggul dari produsen sejenisnya maka dia harus mempu menciptakan inovasi
atau terobosan baru. Sebagai akibatnya ekonomi pasar yang ditandai dengan
adanya persaingan antar pelaku usaha akan menciptakan efisiensi-efisiensi dalam
memanfaatkan sumber daya yang ada. Seorang pelaku usaha yang tidak dapat
menjalankan usahanya secara efisien pasti pada akhirnya akan tergilas oleh
pesaingnya.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Bagaimana
persaingan usaha di Indonesia?
2.
Bagaimana
tinjauan ekonomi pada persaingan usaha di Indonesia?
3.
Bagaimana
hukum persaingan usaha di Indonesia?
C.
TUJUAN
1.
Untuk
mengetahui persaingan usaha di Indonesia
2.
Untuk
mengetahui tinjauan ekonomi pada persaingan usaha di Indonesia
3.
Untuk
mengetahui hukum persaingan usaha di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A.
PERSAINGAN USAHA
Persaingan berasal dari bahasa Inggris yaitu competition yang
artinya persaingan itu sendiri atau kegiatan bersaing, pertandingan, kompetisi.
sedangkan dalam kamus manajemen, persaingan adalah usaha-usaha dari dua
pihak/lebih perusahaan yang masing-masing bergiat ‚memperoleh pesanan‛ dengan
menawarkan harga/syarat yang paling menguntungkan. Persaingan ini dapat terdiri
dari beberapa bentuk pemotongan harga, iklan/promosi, variasi dan kualitas,
kemasan, desain, dan segmentasi pasar.[1]
Persaingan atau competition dalam bahasa Inggris oleh
Webster didefinisikan sebagai “… a struggle or contest between two or more
persons for
the same objects”. Dengan memperhatikan terminology tersebut, dapat disimpulkan bahwa dalam setiap persaingan akan terdapat unsur-unsur sebagai berikut.
the same objects”. Dengan memperhatikan terminology tersebut, dapat disimpulkan bahwa dalam setiap persaingan akan terdapat unsur-unsur sebagai berikut.
a. Ada dua pihak atau lebih yang terlibat dalam upaya saling
mengungguli.
b.
Ada
kehendak di antara mereka untuk mencapai tujuan yang sama.
Persaingan sering dikonotasikan negatif karena dianggap mementingkan
kepentingan sendiri. Walaupun pada kenyataannya seorang manusia, apakah pada
kapasitasnya sebagai individual maupun anggota suatu organisasi, secara ekonomi
tetap akan berusaha mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Alfred
Marshal, seorang ekonom terkemuka sampai mengusulkan agar istilah persaingan
digantikan dengan istilah “economic freedom” (kebebasan ekonomi) dalam
menggambarkan atau mendukung tujuan positif dari proses persaingan. Oleh karena
sebab itu pengertian kompetisi atau persaingan usaha dalam pengertian yang
positif dan independent sebagai jawaban terhadap upaya mencapai
equilibrium.[2]
equilibrium.[2]
Dalam konsepsi persaingan
usaha, dengan asumsi bahwa faktor yang mempengaruhi harga adalah permintaan dan
penawaran, dengan kondisi lain berada dalam cateris paribus, persaingan
usaha akan dengan sendirinya menghasilkan barang atau jasa yang memiliki daya
saing yang baik, melalui mekanisme produksi yang efesien dan efektif, dengan
mempergunakan seminimum mungkin faktor-faktor produksi yang ada. Dalam sistem
ekonomi pasar yang demikian, persaingan memiliki beberapa pengertian :
1.
Persaingan
menunjukkan banyaknya pelaku usaha yang menawarkan / memasok barang atau jasa
tertentu ke pasar yang bersangkutan. Banyak sedikitnya pelaku usaha yang
menawarkan barang atau jasa ini menunjukkan struktur pasar (market structure)
dari barang atau jasa tersebut.
2.
Persaingan
merupakan suatu proses dimana masing-masing perusahaan berupaya memperoleh
pemberli / pelanggan bagi produk yang dijualnya, antra lain dapat dilakukan dengan:[3]
a.
Menekan
harga.
b.
Persaingan
bukan harga (non-price competition), misalnya yang dilakukan melalui
diferensiasi produk, pengembangan hak atas kekayaan intelektual, promosi,
pelayanan purna jual, dan lain-lain;
c. Berusaha secara lebih efisien (low cost-production);
Persaingan usaha adalah persaingan antar pelaku usaha dalam
menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa. Hukum
persaingan usaha adalah hukum yang mengatur tentang interaksi perusahaan atau
pelaku usaha di pasar, sementara tingkah laku perusahaan ketika berinteraksi
dilandasi atas motif-motif ekonomi.[4]
Dalam perundang-undangan di Indonesia definisi yang terdapat di
dalamnya adalah mengenai persaingan usaha tidak sehat. Definisi tersebut berada
dalam rumusan istilah Pasal 1 angka 6 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha tidak sehat, yang berbunyi
sebagai berikut:
Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antarpelaku usaha
dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa
yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat
persaingan usaha.
B.
TINJAUAN EKONOMI
Dalam
perkembangan sistem ekonomi Indonesia, persaingan usaha menjadi salah satu
instrumen ekonomi sejak saat reformasi digulirkan. Sebetulnya sudah sejak lama
masyarakat Indonesia, khususnya para pelaku bisnis, merindukan sebuah
undang-undang yang secara komprehensif mengatur persaingan sehat. Keinginan itu
didorong oleh munculnya praktik-praktik perdagangan yang tidak sehat, terutama
karena penguasa sering memberikan perlindungan ataupun priveleges kepada para
pelaku bisnis tertentu, sebagai bagian dari praktik-praktik kolusi, korupsi,
kroni, dan nepotisme. Dikatakan secara komprehensif, karena sebenarnya secara pragmentaris,
batasan-batasan yuridis terhadap praktik-praktik bisnis yang tidak sehat atau
curang dapat ditemukan secara tersebar di berbagai hukum positif. Tetapi karena
sifatnya yang sektoral, perundang-undangan tersebut sangat tidak efektif untuk
(secara konseptual) memenuhi berbagai indikator sasaran yang ingin dicapai oleh
undang-undang persaingan sehat tersebut.[5]
Sebuah
undang-undang yang secara khusus mengatur persaingan dan antimonopoli sudah
sejak lama dipikirkan oleh para pakar, partai politik, lembaga swadaya
masyarakat, serta instansi pemerintah. Pernah suatu ketika Partai Demokrasi
Indonesia pada tahun 1995 menelurkan konsep Rancangan Undang-undang tentang
Antimonopoli. Demikian pula Departemen Perdagangan yang bekerja sama dengan
Fakultas Hukum Universitas Indonesia pernah membuat naskah akademik Rancangan
Undang-Undang tentang Persaingan Sehat di Bidang Perdagangan. Namun patut
disayangkan karena semua usulan dan inisiatif tersebut tidak mendapat tanggapan
yang positif, karena pada masa-masa itu belum ada komitmen maupun political
will dari elite politik yang berkuasa untuk mengatur masalah persaingan usaha.[6]
Ada beberapa alasan mengapa pada waktu itu sulit sekali suatu
Undang-Undang Antimonopoli disetujui oleh Pemerintah, yaitu:
1.
Pemerintah
menganut konsep bahwa perusahaan-perusahaan besar perlu ditumbuhkan untuk
menjadi lokomotif pembangunan. Perusahaan-perusahaan tersebut hanya mungkin
menjadi besar untuk kemudian menjalankan fungsinya sebagai lokomotif
pembangunan apabila diberi perlakuan khusus. Perlakuan khusus ini, dalam
pemberian proteksi yang dapat menghalangi masuknya perusahaan lain dalam bidang
usaha tersebut atau dengan kata lain mernberikan posisi monopoli;
2.
Pemberian
fasilitas monopoli perlu ditempuh karena perusahaan itu telah bersedia menjadi
pioner di sektor yang bersangkutan. Tanpa fasilitas monopoli dan proteksi,
Pemerintah sulit memperoleh kesediaan investor untuk menanamkan modalnya di
sektor tersebut;
3.
Untuk
menjaga berlangsungnya praktik KKN demi kepentingan kroni mantan Presiden
Soeharto dan pejabat-pejabat yang berkuasa pada waktu itu.
Kebijakan
pembangunan ekonomi yang kita jalankan selama tiga dasawarsa, selain
menghasilkan banyak kemajuan, yang ditunjukkan oleh pertumbuhan ekonomi yang
tinggi, juga masih banyak melahirkan tantangan atau persoalan pembangunan
ekonomi yang belum terpecahkan. Di samping itu, ada kecenderungan globalisasi
perekonomian serta dinamika dan perkembangan usaha swasta sejak awal tahun
1990-an. Peluang-peluang usaha yang telah diciptakan oleh penguasa pada waktu
itu dalam kenyataannya belum membuat seluruh masyarakat mampu dan dapat
berpartisipasi dalam pembangunan di berbagai sektor ekonomi.
Perkembangan
usaha swasta, di satu sisi diwarnai oleh berbagai bentuk kebijakan penguasa
yang kurang tepat, sehingga pasar menjadi terdistorsi. Di sisi lain, sebagian
besar perkembangan usaha swasta pada kenyataannya merupakan perwujudan dari
kondisi persaingan usaha yang tidak sehat atau curang. Fenomena yang demikian
telah berkembang dan didukung oleh adanya hubungan antara pengambil keputusan
dan para pelaku usaha, baik secara langsung maupun tidak langsung. Keadaan ini
makin memperburuk keadaan. Penyelenggaraan ekonomi nasional kurang
memperhatikan amanat Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, serta cenderung
menunjukkan corak yang sangat monopolistik. Para pengusaha yang dekat dengan
elite kekuasaan mendapatkan kemudahan-kemudahan yang berlebihan, sehingga
menimbulkan kesenjangan sosial. Munculnya konglomerasi dan sekelompok kecil
pengusaha kuat yang tidak didukung oleh semangat kewirausahaan sejati merupakan
salah satu faktor yang mengakibatkan ketahanan ekonomi menjadi sangat rapuh dan
tidak mampu bersaing. Padahal dalam era pasar bebas nanti, kita dituntut untuk
mampu bersaing dengan mengandalkan kekuatan sendiri. Lebih ironis lagi,
perilaku dari pelaku-pelaku bisnis kita, yaitu para konglomerat yang telah
memperoleh perlakuan istimewa dari penguasa tersebut, ternyata sangat tidak
bertanggung jawab, dan tidak mau berbuat positif untuk memperbaiki kondisi
ekonomi nasional yang sangat parah.
Kondisi semacam
ini mengharuskan pemerintah mencari bantuan dari donor-donor lain, baik yang
bersifat kolektif maupun negara per negara. Ketergantungan pada bantuan asing,
ini mengharuskan pemerintah mengikuti berbagai persyaratan yang disepakati
bersama; semuanya meletakkan Indonesia pada posisi yang lemah. Walau demikian,
dalam hal-hal tertentu, banyak hal yang berkaitan dengan persyaratan utang luar
negeri itu yang mengandung hikmah, yaitu mengakselerasi pembuatan undang-undang
yang sebenarnya sudah lama didambakan, yang dalam kondisi normal tidak akan
dibentuk pada umumnya ini telah terjadwal di antara Indonesia dengan IMF.[7]
Di samping
merupakan tuntutan nasional, Undang-Undang Persaingan Usaha (Fair Competition
Law) juga merupakan tuntutan atau kebutuhan rambu-rambu yuridis dalam hubungan
bisnis antar bangsa. Dari sisi kehidupan nasional jelas bahwa basis kultural
(asas kekeluargaan) dan konstitusional (demokrasi ekonomi) kita memang sama
sekali menolak prakrik-praktik monopolistik dalam kehidupan ekonomi yang
merugikan rakyat. Dari sisi hubungan antar bangsa pun, apalagi dengan munculnya
fenomena globalisasi ekonomi yang mengandung makna, semakin meningkatnya
ketergantungan antar bangsa di berbagai bidang kehidupan (ekonomi),
mengharuskan berbagai bangsa menaati rambu-rambu (peraturan) baku dalam bisnis
antar bangsa, sebagai konsekuensi WTO, APEC, AFTA, NAFTA, EC, dan lain
sebagainya.[8]
Sebab, para
ahli banyak yang mengatakan, adanya kondisi persaingan (the state of
competition) dalam pasar domestik merupakan hal yang sangat penting dari suam
kebijakan publik (public policy), khususnya untuk mengukur kemampuan bangsa
dalam bersaing di pasar internasional, serta untuk meyakinkan investor dan
eksportir asing untuk bersaing dalam pasar domestik. Dengan demikian tujuan
dari kebijakan persaingan nasional adalah untuk menciptakan dan memastikan
bahwa konsep persaingan dapat dijalankan dalam kerangka ekonomi pluralistik.
Konsep dasar kompetitif ini pun pada dasarnya mengandung unsur HAM yang kental,
karena di dalamnya terkait "pemajuan" (promotion) dari kondisi
persaingan (condition of rivalry) dan "kebebasan memilih" (freedom of
choose) untuk mengurangi dan melarang konsentrasi kekuatan-kekuatan ekonomi.[9]
Untuk itulah,
akhirnya harus ada campur tangan negara (government regulation) untuk mengembangkan
dan memelihara kondisi persaingan. Bahkan globalisasi menciptakan atmosfer yang
kondusif untuk persaingan yang menembus batas-batas negara, yang membutuhkan
harmonisasi kebijakan yang sering dinamakan "super national of regional
standards". Bahkan Masyarakat Ekonomi Eropa (EC) juga masih terus
mengembangkan apa yang dinamakan "Minimum Competition Policy Requirements
Within the Framework of the GATT". Di lingkungan ASEAN pun, tanpa
mengesampingkan divergensi struktur institusional ekonomi, politik, dan sosial,
para ahli sudah mulai berpikir tentang perlunya pengembangan di samping hukum
persaingan nasional dan harmonisasi peraturan-peraturan komersial, termasuk
hukum persaingan di antara masyarakat ASEAN.[10]
Doktrin yang berlaku pada masa lalu,
yang secara absolute menyatakan bahwa hukum ekonomi itu bersifat value loaded,
yang dekat dengan kondisi sosial budaya bangsa, tidak sepenuhnya dapat
dipertanggungjawabkan dalam kaitannya dengan proses globalisasi. Konsep
harmonisasi hukum dan keberadaan fenomena internasionalisasi pasar menumbuhkan
perhatian yang semakin intensif terhadap apa yang dinamakan international
dimension of antitrust and the fit between competition policy and the world
trading system. Dalam kerangka ini, muncul antitrust family (international)
link ages of market economies.[11]
C.
HUKUM PERSAINGAN USAHA
Menurut UU NO 5 TAHUN 1999
Pada masa
sebelum reformasi, perekonomian didominasi oleh struktur yang terkonsentrasi.
Pelaku usaha yang memiliki akses terhadap kekuasaan dapat menguasai dengan
skala besar perekonomian Indonesia. Struktur monopoli dan oligopoli sangat
mendominasi sector sektor ekonomi saat itu. Dalam perkembangannya,
pelaku-pelaku usaha yang dominan bahkan berkembang menjadi konglomerasi dan
menguasai dari hulu ke hilir di berbagai sektor.
Disamping
struktur yang terkonsentrasi, situasi perekonomian Indonesia ketika itu banyak
diwarnai pula oleh berbagai bentuk perilaku anti persaingan, seperti perilaku
yang berupaya memonopoli atau menguasai sektor tertentu, melalui kartel,
penyalahgunaan posisi dominan, merger/take over, diskriminasi dan sebagainya.
Akibatnya, kinerja ekonomi nasional cukup memprihatinkan. Hal tersebut ditandai
dengan pilihan bagi konsumen yang terbatas, kelangkaan pasokan, harga yang tak
terjangkau, lapangan kerja yang terbatas, pertumbuhan industri yang lambat,
daya saing produk melemah serta kesenjangan ekonomi dalam berbagai bidang
kehidupan rakyat. Kondisi ini berujung pada runtuhnya bangunan ekonomi
Indonesia, yang telah dibangun selama
puluhan tahun terhapus hanya dalam waktu singkat pada saat krisis 1997.[12]
Kondisi tersebut pada akhirnya mendorong dilakukannya reformasi di
sektor ekonomi, sebagai bagian dari reformasi di berbagai bidang kehidupan
bernegara dan berbangsa. Sebagaimana diketahui, secara garis besar terdapat
tiga hal penting yang menjadi inti dari perubahan yang disepakati oleh bangsa
ini saat reformasi digulirkan, yang memiliki efek luar biasa bagi perkembangan
bangsa ini ke depan. Tiga elemen penting tersebut adalah:[13]
1.
Membangun
sistem politik yang demokratis melalui perbaikan peraturan perundangan tentang
Pemilu, Partai Politik dan pembentukan Komisi Pemilihan Umum. Hal ini menjadi
dasar bagi proses demokrasi bangsa ini ke depan melalui perubahan dari
pendekatan sentralistis menjadi demokratis.
2.
Membuat
kebijakan ekonomi yang pro persaingan sehat, dengan pengesahan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 dan pembentukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
Dengan demikian diharapkan adanya level playing field atar pelaku usaha,
pemberdayaan UMKM, dan perlindungan konsumen.
3.
Mengakomodasi
secara utuh Good Governance (GG) dalam sistem Pemerintahan dan Good Corporate
Government (GCG) di lingkungan dunia usaha, yang dilakukan antara lain melalui
pengaturan secara khusus, seperti Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)
dan pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Korupsi adalah salah satu
hal yang paling krusial dalam perkembangan bangsa ini, sehingga
pemberantasannya menempati prioritas paling tinggi. Dengan adanya GCG dan upaya
keras pemberantasan korupsi, maka bangsa ini diharapkan akan memiliki
pemerintahan yang bersih, profesional, dan akuntabel.
Indonesia,
pengaturan Persaingan Usaha baru terwujud pada tahun 1999 saat Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat disahkan. Kelahiran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tersebut ditunjang
pula dengan tuntutan masyarakat akan reformasi total dalam tatanan kehidupan
berbangsa dan bernegara, termasuk penghapusan kegiatan monopoli di segala
sektor. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 merupakan tonggak bagi diakuinya
persaingan usaha yang sehat sebagai pilar ekonomi dalam sistem ekonomi
Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
Kelahiran
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 juga merupakan koreksi terhadap perkembangan
ekonomi yang memprihatinkan, yang terbukti tidak tahan terhadap
goncangan/krisis pada tahun 1997. Krisis menjelaskan kepada kita bahwa fondasi
ekonomi Indonesia saat itu sangat lemah. Bahkan banyak pendapat yang mengatakan
bahwa ekonomi Indonesia dibangun secara melenceng dari nilai yang terkandung
dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
Dibandingkan
dengan proses pembentukan undang-undang pada umumnya, proses pembentukan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 termasuk tidak lazim. Perbedaan ini terlerak
pada pihak yang mengajukan rancangan undang-undang. Selama ini dalam praktik
kenegaraan kita, rancangan undang-undang disiapkan dan diajukan oleh pemerintah
untuk kemudian dibahas bersama-sama DPR. Tetapi tidak demikian dengan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Adapun yang mempersiapkan rancangannya adalah
DPR yang kemudian menggunakan hak inisiatifnya mengajukan rancangan
undang-undang. Rancangan Undang-Undang ini dipersiapkan selama kurang lebih 4
bulan oleh Kelompok Kerja Program Legislasi Nasional DPR Bidang Ekonomi
Keuangan dan Industri Pembangunan dengan judul Rancangan Undang-Undang tentang
Larangan Praktik Monopoli, tanpa ada kata-kata "Persaingan Tidak Sehat".
Sebenarnya pemerintah, dalam hal ini Departemen Perindustrian dan Perdagangan,
telah mempersiapkan rancangan undang-undang yang mengatur masalah persaingan
dengan judul Rancangan Undang-Undang tentang Persaingan Usaha. Kemudian
Pemerintah dan DPR menyepakati Rancangan Undang-Undang yang dipersiapkan oleh
DPR itulah yang digunakan.[14]
Menurut Laporan Ketua Pansus untuk
mempersiapkan Rancangan Undang-Undang tersebut diperlukan waktu lebih kurang
3,5 bulan dengan meminta pandangan dan masukan dari berbagai pihak.[15] Kemudian,
dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 18 Oktober 1998 Rancangan Undang-Undang ini
secara resmi dijadikan Rancangan Undang-Undang Usul Inisiatif DPR. Pembahasan
selanjutnya dilakukan oleh suam Panitia Khusus.[16]
Azas dan Tujuan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999
Guna memahami
makna suatu aturan perundang-undangan, perlu disimak terlebih dahulu apa asas
dan tujuan dibuatnya suatu aturan. Asas dan tujuan akan memberi refleksi bagi
bentuk pengaturan dan norma-norma yang dikandung dalam aturan tersebut. Selanjutnya
pemahaman terhadap norma-norma aturan hukum tersebut akan memberi arahan dan
mempengaruhi pelaksanaan dan cara-cara penegakan hukum yang akan dilakukan.
Dalam Bab II UU
No. 5 Tahun 1999, pada pasal 2 memuat Asas dari Hukum Persaingan di Indonesia,
yakni: “Pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya
berdasarkan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara
kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.[17]
Dalam konteks ini, yang masih perlu dipertegas sesungguhnya adalah apa yang
dimaksud dengan “keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan
umum”. Tanpa ada penegasan lebih lanjut, bagian kalimat tersebut terbuka bagi
penafsiran yang sangat subjektif, yang selanjutnya akan berakibat
dikorbankannya “kepentingan pelaku usaha” atau “kepentingan umum” dengan dalih
“memperhatikan keseimbangan”.[18]
Adapun tujuan pembentukan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah sebagaimana tercantum dalam Pasal 3,
yang sesungguhnya memiliki tujuan akhir yang sama, yakni peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Dalam Pasal 3 disebutkan bahwa tujuan pembentukan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah:
a.
Menjaga
kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu
upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat;
b.
Mewujudkan
iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat
sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku
usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil;
c.
Mencegah
praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh
pelaku usaha; dan
d.
Terciptanya
efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha
Dua hal yang
menjadi unsur penting bagi penentuan kebijakan (policy objectives) yang
ideal dalam pengaturan persaingan di Negara-Negara yang memiliki undang-undang
persaingan adalah kepentingan umum (public interest) dan efisiensi
ekonomi (economic efficiency). Ternyata dua unsur penting tersebut
(Pasal 3 (a)) juga merupakan bagian dari tujuan diundangkannya Undang-Undang
No. 5 Tahun 1999.
Dalam
perkembangan terakhir, fokus peraturan perundangan /hukum persaingan lebih
mengarah pada conduct/perilaku pelaku usaha. Paradigma baru ini lebih memandang
conduct, yang selanjutnya disebut praktik monopoli dan persaingan usaha tidak
sehat, sebagai penyebab performansi industri rendah. Dengan demikian, boleh
dikatakan bahwa hukum persaingan lahir berawal dari dalil ekonomi. Dan hukum
persaingan berkembang secara dinamis seiring dengan perkembangan paradigma Structure
Conduct Performance serta riset ekonomi dan hukum.[19]
Undang-undang
ini memberikan jaminan kepastian hukum untuk lebih mendorong percepatan
pembangunan ekonomi dalam upaya meningkatkan kesejahteraan umum, serta sebagai
implementasi dari semangat dan jiwa Undang-Undang Dasar 1945. Dengan demikian
kelahiran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 ini dimaksudkan untuk memberikan
jaminan kepastian hukum dan perlindungan yang sama kepada setiap pelaku usaha
dalam berusaha, dengan cara mencegah timbulnya praktik-praktik monopoli
dan/atau persaingan usaha yang tidak sehat lainnya dengan harapan dapat
menciptakan iklim usaha yang kondusif, di mana setiap pelaku usaha dapat
bersaingan seeara wajar dan sehat. Untuk itu diperlukan aturan hukum yang pasti
dan jelas yang mengatur larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak
sehat lainnya.
Kehadiran
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 sebagai tool of social control and a tool of
social engineering. Sebagai "alat control sosial", Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 berusaha menjaga kepentingan umum dan meneegah praktik
monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Selanjutnya sebagai "alat
rekayasa sosial", Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 berusaha untuk
meningkatkan efisiensi ekonomi nasional, mewujudkan iklim usaha yang kondusif
melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat, dan berusaha menciptakan
efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.[20]
Apabila
cita-cita ideal tersebut dapat dioperasionalkan dalam kehidupan nyata,
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 akan membawa nilai positif bagi perkembangan
iklim usaha di Indonesia, yang selama ini dapat dikatakan jauh dari kondisi
ideal. Sekurang-kurangnya, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 secara tidak
langsung akan memaksa pelaku usaha untuk lebih efisien dalam mengelola
usahanya, karena Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 juga menjamin dan memberi
peluang yang besar kepada pelaku usaha yang ingin berusaha. Hal ini berarti
bahwa hanya pelaku usaha yang efisien-lah yang dapat bertahan di pasar.[21]
Dampak positif
lain dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah terciptanya pasar yang tidak
terdisrorsi, sehingga menciptakan peluang usaha yang semakin besar bagi para
pelaku usaha. Keadaan ini akan memaksa para pelaku usaha untuk lebih inovatif
dalam menciptakan dan memasarkan produk (barang dan jasa) mereka. Jika hal ini
tidak dilakukan, para konsumen akan beralih kepada produk yang lebih baik dan
kompetitif. Ini berarti bahwa, secara tidak langsung Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 akan memberikan keuntungan bagi konsumen dalam bentuk produk yang
lebih berkualitas, harga yang bersaing, dan pelayanan yang lebih baik. Namun
perlu diingat bahwa Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 bukan merupakan ancaman
bagi perusahaan-perusahaan besar yang telah berdiri sebelum undang-undang ini
diundangkan, selama perusahaan-perusahaan tersebut tidak melakukan
praktik-praktik yang dilarang oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.[22]
Di samping
mengikat para pelaku usaha, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 mengikat
pemerintah untuk tidak mengeluarkan peraturan-peraturan yang bersifat
memberikan kemudahan dan fasilitas istimewa kepada para pelaku usaha tertentu
yang bersifat monopolistik. Akibatnya, dunia usaha Indonesia menjadi tidak
terbiasa dengan iklim kompetisi yang sehat, yang pada akhirnya menimbulkan
kerugian yang harus ditanggung oleh seluruh lapisan masyarakat. Oleh karena
itu, kehadiran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 diharapkan mampu mengikat
pemerintah untuk lebih objektif dan profesional dalam mengatur dunia usaha di
Indonesia. Di samping itu, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 juga dapat
meningkatkan kepercayaan masyarakat internasional terhadap Indonesia, sehingga
mereka akan terarik untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Peningkatan
kepercayaan ini dikarenakan adanya jaminan untuk berkompetisi secara sehat.[23]
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Persaingan
berasal dari bahasa Inggris yaitu competition yang artinya persaingan itu
sendiri atau kegiatan bersaing, pertandingan, kompetisi. sedangkan dalam kamus
manajemen, persaingan adalah usaha-usaha dari dua pihak/lebih perusahaan yang
masing-masing bergiat ‚memperoleh pesanan‛ dengan menawarkan harga/syarat yang
paling menguntungkan. Dalam perundang-undangan di Indonesia definisi yang
terdapat di dalamnya adalah mengenai persaingan usaha tidak sehat. Definisi
tersebut berada dalam rumusan istilah Pasal 1 angka 6 Undang-undang Nomor 5
Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha tidak sehat,
yang berbunyi sebagai berikut:
Persaingan
usaha tidak sehat adalah persaingan antarpelaku usaha dalam menjalankan
kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan
cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.
Kebijakan
pembangunan ekonomi yang kita jalankan selama tiga dasawarsa, selain
menghasilkan banyak kemajuan, yang ditunjukkan oleh pertumbuhan ekonomi yang
tinggi, juga masih banyak melahirkan tantangan atau persoalan pembangunan
ekonomi yang belum terpecahkan.
Perkembangan
usaha swasta, di satu sisi diwarnai oleh berbagai bentuk kebijakan penguasa
yang kurang tepat, sehingga pasar menjadi terdistorsi. Di sisi lain, sebagian
besar perkembangan usaha swasta pada kenyataannya merupakan perwujudan dari
kondisi persaingan usaha yang tidak sehat atau curang. Fenomena yang demikian
telah berkembang dan didukung oleh adanya hubungan antara pengambil keputusan
dan para pelaku usaha, baik secara langsung maupun tidak langsung. Keadaan ini
makin memperburuk keadaan. Penyelenggaraan ekonomi nasional kurang
memperhatikan amanat Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, serta cenderung
menunjukkan corak yang sangat monopolistik. Para pengusaha yang dekat dengan
elite kekuasaan mendapatkan kemudahan-kemudahan yang berlebihan, sehingga
menimbulkan kesenjangan sosial.
Kehadiran
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 sebagai tool of social control and a tool of
social engineering. Sebagai "alat control sosial", Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 berusaha menjaga kepentingan umum dan meneegah praktik
monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Dampak positif lain dari
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah terciptanya pasar yang tidak
terdisrorsi, sehingga menciptakan peluang usaha yang semakin besar bagi para
pelaku usaha. Keadaan ini akan memaksa para pelaku usaha untuk lebih inovatif
dalam menciptakan dan memasarkan produk (barang dan jasa) mereka. Jika hal ini
tidak dilakukan, para konsumen akan beralih kepada produk yang lebih baik dan
kompetitif. Di samping mengikat para pelaku usaha, Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 mengikat pemerintah untuk tidak mengeluarkan peraturan-peraturan yang
bersifat memberikan kemudahan dan fasilitas istimewa kepada para pelaku usaha
tertentu yang bersifat monopolistik.
DAFTAR PUSTAKA
Santosa, Awan. Perekonomian Indonesia Masalah, Potensi dan
Alternatif Solusi. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013.
Silondae, Arus Akbar dan Andi Fariana. Aspek Hukum dalam
Ekonomi dan Bisnis. Jakarta: Mitra Wacana Media, 2013.
Sirait, Ningrum Natasya. Hukum Persaingan di Indonesia.
Medan: Pustaka Bangsa Press, 2004.
Usman, Rachmadi. Hukum Persaingan Usaha di Indonesia.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2004.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar