Minggu, 17 Desember 2017

Persaingan Usaha di Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Pada dasarnya dalam dunia bisnis, upaya untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya merupakan perilaku yang wajar, akan tetapi langkah-langkah yang diambil untuk mencapai tujuan tersebut harus tetap dalam koridor yang diperbolehkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kondisi ini tentunya tidak hanya membatasi perilaku sektor swasta saja akan juga berlaku untuk negara dalam hal negara bertindak sebagai pelaku usaha seperti dalam kasus BUMN. Meskipun demikian tentunya ada sektor-sektor tertentu yang oleh undang-undang memang diberikan monopoli kepada negara karena menyangkut hajat hidup orang banyak.
Secara teoritis hukum persaingan usaha akan menguntungkan konsumen di satu pihak dan mengembangkan iklim usaha yang lebih baik bagi pelaku usaha di pihak lainnya. Dalam perspektif konsumen dengan adanya larangan monopoli maka konsumen memperoleh dua keuntungan yaitu pertama kemudahan untuk memilih alternatif barang atau jasa yang ditawarkan dan kedua adalah harga barang atau jasa akan cenderung lebih murah dengan kompetisi diantara pelaku usaha.
Dalam era globalisasi dan transparansi seperti sekarang ini tentunya monopoli yang dipegang oleh negara harus kembali dikaji, jangan sampai dengan alasan untuk kepentingan umum suatu sektor dimonopoli oleh negara akan tetapi hasilnya justru hanya menguntungkan orang-orang tertentu atau kelompok tertentu saja. Adanya undang-undang persaingan usaha ini pada dasarnya merupakan salah satu syarat bagi suatu negara yang akan memberlakukan ekonomi pasar. Oleh karenanya ekonomi pasar tanpa adanya aturan main yang jelas akan menimbulkan kesewenang-wenangan, dimana pelaku usaha besar akan mematikan pelaku usaha kecil yang merupakan saingannya. Pasar persaingan sempurna, merupakan struktur pasar yang paling ideal dalam suatu negara yang menganut sistem mekanisme pasar. Dalam pasar persaingan sempurna, produsen memiliki kemampuan yang sama antara satu dengan yang lainnya, sehingga agar dia dapat tetap bertahan atau lebih unggul dari produsen sejenisnya maka dia harus mempu menciptakan inovasi atau terobosan baru. Sebagai akibatnya ekonomi pasar yang ditandai dengan adanya persaingan antar pelaku usaha akan menciptakan efisiensi-efisiensi dalam memanfaatkan sumber daya yang ada. Seorang pelaku usaha yang tidak dapat menjalankan usahanya secara efisien pasti pada akhirnya akan tergilas oleh pesaingnya.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana persaingan usaha di Indonesia?
2.      Bagaimana tinjauan ekonomi pada persaingan usaha di Indonesia?
3.      Bagaimana hukum persaingan usaha di Indonesia?

C.    TUJUAN
1.      Untuk mengetahui persaingan usaha di Indonesia
2.      Untuk mengetahui tinjauan ekonomi pada persaingan usaha di Indonesia
3.      Untuk mengetahui hukum persaingan usaha di Indonesia

BAB II
PEMBAHASAN

A.    PERSAINGAN USAHA
Persaingan berasal dari bahasa Inggris yaitu competition yang artinya persaingan itu sendiri atau kegiatan bersaing, pertandingan, kompetisi. sedangkan dalam kamus manajemen, persaingan adalah usaha-usaha dari dua pihak/lebih perusahaan yang masing-masing bergiat ‚memperoleh pesanan‛ dengan menawarkan harga/syarat yang paling menguntungkan. Persaingan ini dapat terdiri dari beberapa bentuk pemotongan harga, iklan/promosi, variasi dan kualitas, kemasan, desain, dan segmentasi pasar.[1]
Persaingan atau competition dalam bahasa Inggris oleh Webster didefinisikan sebagai “… a struggle or contest between two or more persons for
the same objects”. Dengan memperhatikan terminology tersebut, dapat disimpulkan bahwa dalam setiap persaingan akan terdapat unsur-unsur sebagai berikut.
a.       Ada dua pihak atau lebih yang terlibat dalam upaya saling mengungguli.
b.      Ada kehendak di antara mereka untuk mencapai tujuan yang sama.
Persaingan sering dikonotasikan negatif karena dianggap mementingkan kepentingan sendiri. Walaupun pada kenyataannya seorang manusia, apakah pada kapasitasnya sebagai individual maupun anggota suatu organisasi, secara ekonomi tetap akan berusaha mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Alfred Marshal, seorang ekonom terkemuka sampai mengusulkan agar istilah persaingan digantikan dengan istilah “economic freedom” (kebebasan ekonomi) dalam menggambarkan atau mendukung tujuan positif dari proses persaingan. Oleh karena sebab itu pengertian kompetisi atau persaingan usaha dalam pengertian yang positif dan independent sebagai jawaban terhadap upaya mencapai
equilibrium.[2]
Dalam konsepsi persaingan usaha, dengan asumsi bahwa faktor yang mempengaruhi harga adalah permintaan dan penawaran, dengan kondisi lain berada dalam cateris paribus, persaingan usaha akan dengan sendirinya menghasilkan barang atau jasa yang memiliki daya saing yang baik, melalui mekanisme produksi yang efesien dan efektif, dengan mempergunakan seminimum mungkin faktor-faktor produksi yang ada. Dalam sistem ekonomi pasar yang demikian, persaingan memiliki beberapa pengertian :
1.      Persaingan menunjukkan banyaknya pelaku usaha yang menawarkan / memasok barang atau jasa tertentu ke pasar yang bersangkutan. Banyak sedikitnya pelaku usaha yang menawarkan barang atau jasa ini menunjukkan struktur pasar (market structure) dari barang atau jasa tersebut.
2.      Persaingan merupakan suatu proses dimana masing-masing perusahaan berupaya memperoleh pemberli / pelanggan bagi produk yang dijualnya, antra lain dapat dilakukan dengan:[3]
a.       Menekan harga.
b.      Persaingan bukan harga (non-price competition), misalnya yang dilakukan melalui diferensiasi produk, pengembangan hak atas kekayaan intelektual, promosi, pelayanan purna jual, dan lain-lain;
c.       Berusaha secara lebih efisien (low cost-production);
Persaingan usaha adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa. Hukum persaingan usaha adalah hukum yang mengatur tentang interaksi perusahaan atau pelaku usaha di pasar, sementara tingkah laku perusahaan ketika berinteraksi dilandasi atas motif-motif ekonomi.[4]
Dalam perundang-undangan di Indonesia definisi yang terdapat di dalamnya adalah mengenai persaingan usaha tidak sehat. Definisi tersebut berada dalam rumusan istilah Pasal 1 angka 6 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha tidak sehat, yang berbunyi sebagai berikut:
Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antarpelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.
B.     TINJAUAN EKONOMI
Dalam perkembangan sistem ekonomi Indonesia, persaingan usaha menjadi salah satu instrumen ekonomi sejak saat reformasi digulirkan. Sebetulnya sudah sejak lama masyarakat Indonesia, khususnya para pelaku bisnis, merindukan sebuah undang-undang yang secara komprehensif mengatur persaingan sehat. Keinginan itu didorong oleh munculnya praktik-praktik perdagangan yang tidak sehat, terutama karena penguasa sering memberikan perlindungan ataupun priveleges kepada para pelaku bisnis tertentu, sebagai bagian dari praktik-praktik kolusi, korupsi, kroni, dan nepotisme. Dikatakan secara komprehensif, karena sebenarnya secara pragmentaris, batasan-batasan yuridis terhadap praktik-praktik bisnis yang tidak sehat atau curang dapat ditemukan secara tersebar di berbagai hukum positif. Tetapi karena sifatnya yang sektoral, perundang-undangan tersebut sangat tidak efektif untuk (secara konseptual) memenuhi berbagai indikator sasaran yang ingin dicapai oleh undang-undang persaingan sehat tersebut.[5]
Sebuah undang-undang yang secara khusus mengatur persaingan dan antimonopoli sudah sejak lama dipikirkan oleh para pakar, partai politik, lembaga swadaya masyarakat, serta instansi pemerintah. Pernah suatu ketika Partai Demokrasi Indonesia pada tahun 1995 menelurkan konsep Rancangan Undang-undang tentang Antimonopoli. Demikian pula Departemen Perdagangan yang bekerja sama dengan Fakultas Hukum Universitas Indonesia pernah membuat naskah akademik Rancangan Undang-Undang tentang Persaingan Sehat di Bidang Perdagangan. Namun patut disayangkan karena semua usulan dan inisiatif tersebut tidak mendapat tanggapan yang positif, karena pada masa-masa itu belum ada komitmen maupun political will dari elite politik yang berkuasa untuk mengatur masalah persaingan usaha.[6]
Ada beberapa alasan mengapa pada waktu itu sulit sekali suatu Undang-Undang Antimonopoli disetujui oleh Pemerintah, yaitu:
1.      Pemerintah menganut konsep bahwa perusahaan-perusahaan besar perlu ditumbuhkan untuk menjadi lokomotif pembangunan. Perusahaan-perusahaan tersebut hanya mungkin menjadi besar untuk kemudian menjalankan fungsinya sebagai lokomotif pembangunan apabila diberi perlakuan khusus. Perlakuan khusus ini, dalam pemberian proteksi yang dapat menghalangi masuknya perusahaan lain dalam bidang usaha tersebut atau dengan kata lain mernberikan posisi monopoli;
2.      Pemberian fasilitas monopoli perlu ditempuh karena perusahaan itu telah bersedia menjadi pioner di sektor yang bersangkutan. Tanpa fasilitas monopoli dan proteksi, Pemerintah sulit memperoleh kesediaan investor untuk menanamkan modalnya di sektor tersebut;
3.      Untuk menjaga berlangsungnya praktik KKN demi kepentingan kroni mantan Presiden Soeharto dan pejabat-pejabat yang berkuasa pada waktu itu.
Kebijakan pembangunan ekonomi yang kita jalankan selama tiga dasawarsa, selain menghasilkan banyak kemajuan, yang ditunjukkan oleh pertumbuhan ekonomi yang tinggi, juga masih banyak melahirkan tantangan atau persoalan pembangunan ekonomi yang belum terpecahkan. Di samping itu, ada kecenderungan globalisasi perekonomian serta dinamika dan perkembangan usaha swasta sejak awal tahun 1990-an. Peluang-peluang usaha yang telah diciptakan oleh penguasa pada waktu itu dalam kenyataannya belum membuat seluruh masyarakat mampu dan dapat berpartisipasi dalam pembangunan di berbagai sektor ekonomi. 
Perkembangan usaha swasta, di satu sisi diwarnai oleh berbagai bentuk kebijakan penguasa yang kurang tepat, sehingga pasar menjadi terdistorsi. Di sisi lain, sebagian besar perkembangan usaha swasta pada kenyataannya merupakan perwujudan dari kondisi persaingan usaha yang tidak sehat atau curang. Fenomena yang demikian telah berkembang dan didukung oleh adanya hubungan antara pengambil keputusan dan para pelaku usaha, baik secara langsung maupun tidak langsung. Keadaan ini makin memperburuk keadaan. Penyelenggaraan ekonomi nasional kurang memperhatikan amanat Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, serta cenderung menunjukkan corak yang sangat monopolistik. Para pengusaha yang dekat dengan elite kekuasaan mendapatkan kemudahan-kemudahan yang berlebihan, sehingga menimbulkan kesenjangan sosial. Munculnya konglomerasi dan sekelompok kecil pengusaha kuat yang tidak didukung oleh semangat kewirausahaan sejati merupakan salah satu faktor yang mengakibatkan ketahanan ekonomi menjadi sangat rapuh dan tidak mampu bersaing. Padahal dalam era pasar bebas nanti, kita dituntut untuk mampu bersaing dengan mengandalkan kekuatan sendiri. Lebih ironis lagi, perilaku dari pelaku-pelaku bisnis kita, yaitu para konglomerat yang telah memperoleh perlakuan istimewa dari penguasa tersebut, ternyata sangat tidak bertanggung jawab, dan tidak mau berbuat positif untuk memperbaiki kondisi ekonomi nasional yang sangat parah. 
Kondisi semacam ini mengharuskan pemerintah mencari bantuan dari donor-donor lain, baik yang bersifat kolektif maupun negara per negara. Ketergantungan pada bantuan asing, ini mengharuskan pemerintah mengikuti berbagai persyaratan yang disepakati bersama; semuanya meletakkan Indonesia pada posisi yang lemah. Walau demikian, dalam hal-hal tertentu, banyak hal yang berkaitan dengan persyaratan utang luar negeri itu yang mengandung hikmah, yaitu mengakselerasi pembuatan undang-undang yang sebenarnya sudah lama didambakan, yang dalam kondisi normal tidak akan dibentuk pada umumnya ini telah terjadwal di antara Indonesia dengan IMF.[7]
Di samping merupakan tuntutan nasional, Undang-Undang Persaingan Usaha (Fair Competition Law) juga merupakan tuntutan atau kebutuhan rambu-rambu yuridis dalam hubungan bisnis antar bangsa. Dari sisi kehidupan nasional jelas bahwa basis kultural (asas kekeluargaan) dan konstitusional (demokrasi ekonomi) kita memang sama sekali menolak prakrik-praktik monopolistik dalam kehidupan ekonomi yang merugikan rakyat. Dari sisi hubungan antar bangsa pun, apalagi dengan munculnya fenomena globalisasi ekonomi yang mengandung makna, semakin meningkatnya ketergantungan antar bangsa di berbagai bidang kehidupan (ekonomi), mengharuskan berbagai bangsa menaati rambu-rambu (peraturan) baku dalam bisnis antar bangsa, sebagai konsekuensi WTO, APEC, AFTA, NAFTA, EC, dan lain sebagainya.[8]
Sebab, para ahli banyak yang mengatakan, adanya kondisi persaingan (the state of competition) dalam pasar domestik merupakan hal yang sangat penting dari suam kebijakan publik (public policy), khususnya untuk mengukur kemampuan bangsa dalam bersaing di pasar internasional, serta untuk meyakinkan investor dan eksportir asing untuk bersaing dalam pasar domestik. Dengan demikian tujuan dari kebijakan persaingan nasional adalah untuk menciptakan dan memastikan bahwa konsep persaingan dapat dijalankan dalam kerangka ekonomi pluralistik. Konsep dasar kompetitif ini pun pada dasarnya mengandung unsur HAM yang kental, karena di dalamnya terkait "pemajuan" (promotion) dari kondisi persaingan (condition of rivalry) dan "kebebasan memilih" (freedom of choose) untuk mengurangi dan melarang konsentrasi kekuatan-kekuatan ekonomi.[9]
Untuk itulah, akhirnya harus ada campur tangan negara (government regulation) untuk mengembangkan dan memelihara kondisi persaingan. Bahkan globalisasi menciptakan atmosfer yang kondusif untuk persaingan yang menembus batas-batas negara, yang membutuhkan harmonisasi kebijakan yang sering dinamakan "super national of regional standards". Bahkan Masyarakat Ekonomi Eropa (EC) juga masih terus mengembangkan apa yang dinamakan "Minimum Competition Policy Requirements Within the Framework of the GATT". Di lingkungan ASEAN pun, tanpa mengesampingkan divergensi struktur institusional ekonomi, politik, dan sosial, para ahli sudah mulai berpikir tentang perlunya pengembangan di samping hukum persaingan nasional dan harmonisasi peraturan-peraturan komersial, termasuk hukum persaingan di antara masyarakat ASEAN.[10]
Doktrin yang berlaku pada masa lalu, yang secara absolute menyatakan bahwa hukum ekonomi itu bersifat value loaded, yang dekat dengan kondisi sosial budaya bangsa, tidak sepenuhnya dapat dipertanggungjawabkan dalam kaitannya dengan proses globalisasi. Konsep harmonisasi hukum dan keberadaan fenomena internasionalisasi pasar menumbuhkan perhatian yang semakin intensif terhadap apa yang dinamakan international dimension of antitrust and the fit between competition policy and the world trading system. Dalam kerangka ini, muncul antitrust family (international) link ages of market economies.[11]
C.    HUKUM PERSAINGAN USAHA
Menurut UU NO 5 TAHUN 1999
Pada masa sebelum reformasi, perekonomian didominasi oleh struktur yang terkonsentrasi. Pelaku usaha yang memiliki akses terhadap kekuasaan dapat menguasai dengan skala besar perekonomian Indonesia. Struktur monopoli dan oligopoli sangat mendominasi sector sektor ekonomi saat itu. Dalam perkembangannya, pelaku-pelaku usaha yang dominan bahkan berkembang menjadi konglomerasi dan menguasai dari hulu ke hilir di berbagai sektor.
Disamping struktur yang terkonsentrasi, situasi perekonomian Indonesia ketika itu banyak diwarnai pula oleh berbagai bentuk perilaku anti persaingan, seperti perilaku yang berupaya memonopoli atau menguasai sektor tertentu, melalui kartel, penyalahgunaan posisi dominan, merger/take over, diskriminasi dan sebagainya. Akibatnya, kinerja ekonomi nasional cukup memprihatinkan. Hal tersebut ditandai dengan pilihan bagi konsumen yang terbatas, kelangkaan pasokan, harga yang tak terjangkau, lapangan kerja yang terbatas, pertumbuhan industri yang lambat, daya saing produk melemah serta kesenjangan ekonomi dalam berbagai bidang kehidupan rakyat. Kondisi ini berujung pada runtuhnya bangunan ekonomi Indonesia, yang telah dibangun  selama puluhan tahun terhapus hanya dalam waktu singkat pada saat krisis 1997.[12]
Kondisi tersebut pada akhirnya mendorong dilakukannya reformasi di sektor ekonomi, sebagai bagian dari reformasi di berbagai bidang kehidupan bernegara dan berbangsa. Sebagaimana diketahui, secara garis besar terdapat tiga hal penting yang menjadi inti dari perubahan yang disepakati oleh bangsa ini saat reformasi digulirkan, yang memiliki efek luar biasa bagi perkembangan bangsa ini ke depan. Tiga elemen penting tersebut adalah:[13]
1.      Membangun sistem politik yang demokratis melalui perbaikan peraturan perundangan tentang Pemilu, Partai Politik dan pembentukan Komisi Pemilihan Umum. Hal ini menjadi dasar bagi proses demokrasi bangsa ini ke depan melalui perubahan dari pendekatan sentralistis menjadi demokratis.
2.      Membuat kebijakan ekonomi yang pro persaingan sehat, dengan pengesahan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dan pembentukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Dengan demikian diharapkan adanya level playing field atar pelaku usaha, pemberdayaan UMKM, dan perlindungan konsumen.
3.      Mengakomodasi secara utuh Good Governance (GG) dalam sistem Pemerintahan dan Good Corporate Government (GCG) di lingkungan dunia usaha, yang dilakukan antara lain melalui pengaturan secara khusus, seperti Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Korupsi adalah salah satu hal yang paling krusial dalam perkembangan bangsa ini, sehingga pemberantasannya menempati prioritas paling tinggi. Dengan adanya GCG dan upaya keras pemberantasan korupsi, maka bangsa ini diharapkan akan memiliki pemerintahan yang bersih, profesional, dan akuntabel.
Indonesia, pengaturan Persaingan Usaha baru terwujud pada tahun 1999 saat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat disahkan. Kelahiran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tersebut ditunjang pula dengan tuntutan masyarakat akan reformasi total dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk penghapusan kegiatan monopoli di segala sektor. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 merupakan tonggak bagi diakuinya persaingan usaha yang sehat sebagai pilar ekonomi dalam sistem ekonomi Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
Kelahiran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 juga merupakan koreksi terhadap perkembangan ekonomi yang memprihatinkan, yang terbukti tidak tahan terhadap goncangan/krisis pada tahun 1997. Krisis menjelaskan kepada kita bahwa fondasi ekonomi Indonesia saat itu sangat lemah. Bahkan banyak pendapat yang mengatakan bahwa ekonomi Indonesia dibangun secara melenceng dari nilai yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
Dibandingkan dengan proses pembentukan undang-undang pada umumnya, proses pembentukan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 termasuk tidak lazim. Perbedaan ini terlerak pada pihak yang mengajukan rancangan undang-undang. Selama ini dalam praktik kenegaraan kita, rancangan undang-undang disiapkan dan diajukan oleh pemerintah untuk kemudian dibahas bersama-sama DPR. Tetapi tidak demikian dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Adapun yang mempersiapkan rancangannya adalah DPR yang kemudian menggunakan hak inisiatifnya mengajukan rancangan undang-undang. Rancangan Undang-Undang ini dipersiapkan selama kurang lebih 4 bulan oleh Kelompok Kerja Program Legislasi Nasional DPR Bidang Ekonomi Keuangan dan Industri Pembangunan dengan judul Rancangan Undang-Undang tentang Larangan Praktik Monopoli, tanpa ada kata-kata "Persaingan Tidak Sehat". Sebenarnya pemerintah, dalam hal ini Departemen Perindustrian dan Perdagangan, telah mempersiapkan rancangan undang-undang yang mengatur masalah persaingan dengan judul Rancangan Undang-Undang tentang Persaingan Usaha. Kemudian Pemerintah dan DPR menyepakati Rancangan Undang-Undang yang dipersiapkan oleh DPR itulah yang digunakan.[14]
Menurut Laporan Ketua Pansus untuk mempersiapkan Rancangan Undang-Undang tersebut diperlukan waktu lebih kurang 3,5 bulan dengan meminta pandangan dan masukan dari berbagai pihak.[15] Kemudian, dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 18 Oktober 1998 Rancangan Undang-Undang ini secara resmi dijadikan Rancangan Undang-Undang Usul Inisiatif DPR. Pembahasan selanjutnya dilakukan oleh suam Panitia Khusus.[16]
Azas dan Tujuan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999
Guna memahami makna suatu aturan perundang-undangan, perlu disimak terlebih dahulu apa asas dan tujuan dibuatnya suatu aturan. Asas dan tujuan akan memberi refleksi bagi bentuk pengaturan dan norma-norma yang dikandung dalam aturan tersebut. Selanjutnya pemahaman terhadap norma-norma aturan hukum tersebut akan memberi arahan dan mempengaruhi pelaksanaan dan cara-cara penegakan hukum yang akan dilakukan.
Dalam Bab II UU No. 5 Tahun 1999, pada pasal 2 memuat Asas dari Hukum Persaingan di Indonesia, yakni: “Pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.[17] Dalam konteks ini, yang masih perlu dipertegas sesungguhnya adalah apa yang dimaksud dengan “keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum”. Tanpa ada penegasan lebih lanjut, bagian kalimat tersebut terbuka bagi penafsiran yang sangat subjektif, yang selanjutnya akan berakibat dikorbankannya “kepentingan pelaku usaha” atau “kepentingan umum” dengan dalih “memperhatikan keseimbangan”.[18]
Adapun tujuan pembentukan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah sebagaimana tercantum dalam Pasal 3, yang sesungguhnya memiliki tujuan akhir yang sama, yakni peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dalam Pasal 3 disebutkan bahwa tujuan pembentukan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah:
a.       Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat;
b.      Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil;
c.       Mencegah praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha; dan
d.      Terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha
Dua hal yang menjadi unsur penting bagi penentuan kebijakan (policy objectives) yang ideal dalam pengaturan persaingan di Negara-Negara yang memiliki undang-undang persaingan adalah kepentingan umum (public interest) dan efisiensi ekonomi (economic efficiency). Ternyata dua unsur penting tersebut (Pasal 3 (a)) juga merupakan bagian dari tujuan diundangkannya Undang-Undang No. 5 Tahun 1999.
Dalam perkembangan terakhir, fokus peraturan perundangan /hukum persaingan lebih mengarah pada conduct/perilaku pelaku usaha. Paradigma baru ini lebih memandang conduct, yang selanjutnya disebut praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, sebagai penyebab performansi industri rendah. Dengan demikian, boleh dikatakan bahwa hukum persaingan lahir berawal dari dalil ekonomi. Dan hukum persaingan berkembang secara dinamis seiring dengan perkembangan paradigma Structure Conduct Performance serta riset ekonomi dan hukum.[19]
Undang-undang ini memberikan jaminan kepastian hukum untuk lebih mendorong percepatan pembangunan ekonomi dalam upaya meningkatkan kesejahteraan umum, serta sebagai implementasi dari semangat dan jiwa Undang-Undang Dasar 1945. Dengan demikian kelahiran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan yang sama kepada setiap pelaku usaha dalam berusaha, dengan cara mencegah timbulnya praktik-praktik monopoli dan/atau persaingan usaha yang tidak sehat lainnya dengan harapan dapat menciptakan iklim usaha yang kondusif, di mana setiap pelaku usaha dapat bersaingan seeara wajar dan sehat. Untuk itu diperlukan aturan hukum yang pasti dan jelas yang mengatur larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat lainnya.
Kehadiran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 sebagai tool of social control and a tool of social engineering. Sebagai "alat control sosial", Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 berusaha menjaga kepentingan umum dan meneegah praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Selanjutnya sebagai "alat rekayasa sosial", Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 berusaha untuk meningkatkan efisiensi ekonomi nasional, mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat, dan berusaha menciptakan efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.[20]
Apabila cita-cita ideal tersebut dapat dioperasionalkan dalam kehidupan nyata, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 akan membawa nilai positif bagi perkembangan iklim usaha di Indonesia, yang selama ini dapat dikatakan jauh dari kondisi ideal. Sekurang-kurangnya, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 secara tidak langsung akan memaksa pelaku usaha untuk lebih efisien dalam mengelola usahanya, karena Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 juga menjamin dan memberi peluang yang besar kepada pelaku usaha yang ingin berusaha. Hal ini berarti bahwa hanya pelaku usaha yang efisien-lah yang dapat bertahan di pasar.[21]
Dampak positif lain dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah terciptanya pasar yang tidak terdisrorsi, sehingga menciptakan peluang usaha yang semakin besar bagi para pelaku usaha. Keadaan ini akan memaksa para pelaku usaha untuk lebih inovatif dalam menciptakan dan memasarkan produk (barang dan jasa) mereka. Jika hal ini tidak dilakukan, para konsumen akan beralih kepada produk yang lebih baik dan kompetitif. Ini berarti bahwa, secara tidak langsung Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 akan memberikan keuntungan bagi konsumen dalam bentuk produk yang lebih berkualitas, harga yang bersaing, dan pelayanan yang lebih baik. Namun perlu diingat bahwa Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 bukan merupakan ancaman bagi perusahaan-perusahaan besar yang telah berdiri sebelum undang-undang ini diundangkan, selama perusahaan-perusahaan tersebut tidak melakukan praktik-praktik yang dilarang oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.[22]
Di samping mengikat para pelaku usaha, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 mengikat pemerintah untuk tidak mengeluarkan peraturan-peraturan yang bersifat memberikan kemudahan dan fasilitas istimewa kepada para pelaku usaha tertentu yang bersifat monopolistik. Akibatnya, dunia usaha Indonesia menjadi tidak terbiasa dengan iklim kompetisi yang sehat, yang pada akhirnya menimbulkan kerugian yang harus ditanggung oleh seluruh lapisan masyarakat. Oleh karena itu, kehadiran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 diharapkan mampu mengikat pemerintah untuk lebih objektif dan profesional dalam mengatur dunia usaha di Indonesia. Di samping itu, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 juga dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat internasional terhadap Indonesia, sehingga mereka akan terarik untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Peningkatan kepercayaan ini dikarenakan adanya jaminan untuk berkompetisi secara sehat.[23]

  
BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Persaingan berasal dari bahasa Inggris yaitu competition yang artinya persaingan itu sendiri atau kegiatan bersaing, pertandingan, kompetisi. sedangkan dalam kamus manajemen, persaingan adalah usaha-usaha dari dua pihak/lebih perusahaan yang masing-masing bergiat ‚memperoleh pesanan‛ dengan menawarkan harga/syarat yang paling menguntungkan. Dalam perundang-undangan di Indonesia definisi yang terdapat di dalamnya adalah mengenai persaingan usaha tidak sehat. Definisi tersebut berada dalam rumusan istilah Pasal 1 angka 6 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha tidak sehat, yang berbunyi sebagai berikut:
Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antarpelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.
Kebijakan pembangunan ekonomi yang kita jalankan selama tiga dasawarsa, selain menghasilkan banyak kemajuan, yang ditunjukkan oleh pertumbuhan ekonomi yang tinggi, juga masih banyak melahirkan tantangan atau persoalan pembangunan ekonomi yang belum terpecahkan.
Perkembangan usaha swasta, di satu sisi diwarnai oleh berbagai bentuk kebijakan penguasa yang kurang tepat, sehingga pasar menjadi terdistorsi. Di sisi lain, sebagian besar perkembangan usaha swasta pada kenyataannya merupakan perwujudan dari kondisi persaingan usaha yang tidak sehat atau curang. Fenomena yang demikian telah berkembang dan didukung oleh adanya hubungan antara pengambil keputusan dan para pelaku usaha, baik secara langsung maupun tidak langsung. Keadaan ini makin memperburuk keadaan. Penyelenggaraan ekonomi nasional kurang memperhatikan amanat Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, serta cenderung menunjukkan corak yang sangat monopolistik. Para pengusaha yang dekat dengan elite kekuasaan mendapatkan kemudahan-kemudahan yang berlebihan, sehingga menimbulkan kesenjangan sosial.
Kehadiran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 sebagai tool of social control and a tool of social engineering. Sebagai "alat control sosial", Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 berusaha menjaga kepentingan umum dan meneegah praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Dampak positif lain dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah terciptanya pasar yang tidak terdisrorsi, sehingga menciptakan peluang usaha yang semakin besar bagi para pelaku usaha. Keadaan ini akan memaksa para pelaku usaha untuk lebih inovatif dalam menciptakan dan memasarkan produk (barang dan jasa) mereka. Jika hal ini tidak dilakukan, para konsumen akan beralih kepada produk yang lebih baik dan kompetitif. Di samping mengikat para pelaku usaha, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 mengikat pemerintah untuk tidak mengeluarkan peraturan-peraturan yang bersifat memberikan kemudahan dan fasilitas istimewa kepada para pelaku usaha tertentu yang bersifat monopolistik.
  
DAFTAR PUSTAKA

Santosa, Awan. Perekonomian Indonesia Masalah, Potensi dan Alternatif Solusi. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013.
Silondae, Arus Akbar dan Andi Fariana. Aspek Hukum dalam Ekonomi dan Bisnis. Jakarta: Mitra Wacana Media, 2013.
Sirait, Ningrum Natasya. Hukum Persaingan di Indonesia. Medan: Pustaka Bangsa Press, 2004.
Usman, Rachmadi. Hukum Persaingan Usaha di Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2004.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar